Sulsel, Indonesia Timur - Dalam arus deras industrialisasi hijau dan hilirisasi tambang, suara-suara perempuan muda dari Sulawesi Selatan menggema lantang. Pengurus Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) PKC PMII Sulawesi Selatan mengecam keras aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Bagi mereka, ini bukan hanya isu lingkungan, tetapi soal keadilan hidup, budaya, dan masa depan masyarakat adat, terutama perempuan dan anak-anak yang hidup berdampingan dengan alam.
Pengurus KOPRI PKC PMII Sulsel menyampaikan sikap resmi organisasi dengan menolak segala bentuk aktivitas tambang di kawasan Raja Ampat, serta menuntut penghentian total terhadap eksploitasi dan evaluasi menyeluruh kebijakan pertambangan yang merusak.
Ketua KOPRI PKC PMII Sulsel, Wahyuni Ayu Safitri, menyebut bahwa keberadaan tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran adalah bentuk kekerasan struktural terhadap ruang hidup masyarakat adat. “Ini bukan pembangunan, ini penghancuran yang disulap jadi narasi kemajuan,” tegasnya.
Bagi Wahyuni, Raja Ampat bukan sekadar lanskap indah, melainkan simbol ekologi sakral dan rumah bagi warisan budaya. “Ketika tambang masuk, bukan hanya ikan dan batu karang yang hilang, tapi juga kearifan dan ingatan,” tambahnya.
Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik KOPRI PKC PMII Sulsel, Arni, menyoroti langsung ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem dan ekonomi lokal. Ia menilai aktivitas tambang nikel telah merusak terumbu karang, mencemari laut, dan mengancam pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat adat. “Pulau Gag dan Kawe bukan zona industri, itu ruang hidup. Warisan kita,” ujarnya.
Arni juga mendesak agar perizinan tambang dikaji ulang melalui proses yang transparan dan partisipatif, serta tidak didikte oleh kepentingan investor. Ia mendukung langkah penegakan hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup, namun menilai perlu ada reformasi kebijakan mendasar, bukan sekadar penyegelan simbolik.
Ketua Bidang Hukum dan HAM KOPRI PKC PMII Sulsel, Yuliana, menyoroti aspek hukum dan keadilan generasi. Ia menyebut bahwa aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan dalih untuk melanggar hak hidup generasi mendatang. Apa arti energi hijau jika didapat dari perusakan rumah adat dan habitat satwa endemik Papua?” katanya.
Data menunjukkan bahwa ekowisata di Raja Ampat menyumbang lebih dari 15% Pendapatan Asli Daerah pada 2020. Namun kini, sektor tersebut terancam hancur karena ekspansi tambang. “Kita punya alternatif ekonomi yang lestari. Tapi yang dipilih justru jalan pintas yang meninggalkan luka,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris KOPRI PKC PMII Sulsel, Jamilah, secara khusus menyoroti dampak ekologis tambang terhadap kelompok perempuan dan anak-anak. Menurutnya, dalam komunitas pesisir dan kepulauan seperti Raja Ampat, perempuan berperan besar dalam menjaga ketahanan pangan keluarga, mengolah hasil laut, dan merawat tradisi lokal. “Ketika laut rusak, perempuanlah yang pertama kali kehilangan sumber penghidupan. Dan anak-anak kehilangan ruang tumbuh yang sehat,” tegasnya.
Jamilah juga menekankan bahwa krisis lingkungan seperti ini memperdalam ketimpangan gender. “Perjuangan lingkungan adalah perjuangan perempuan. Karena kerusakan alam tak pernah netral, ia lebih dulu menghantam perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya” tambahnya.
Dengan ini, KOPRI PKC PMII Sulsel menegaskan bahwa perjuangan menyelamatkan Raja Ampat adalah bagian dari perjuangan perempuan. Sebab, dalam banyak kasus kerusakan lingkungan, dampak terberat sering kali dirasakan oleh kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
“Ini bukan sekadar soal lingkungan. Ini soal hidup bersama yang adil, berdaulat, dan berkelanjutan,” tutup mereka dengan satu suara. (kpr)