Maros, 11 Juli 2025 – Pemerintah Kabupaten Maros secara resmi menginisiasi pelaksanaan program “Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah” sebagai bagian dari Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang digagas oleh BKKBN. Surat edaran bernomor 400.3.1/11/DP3ADALDUKKB yang ditandatangani Bupati Maros, mengimbau seluruh Kepala Perangkat Daerah, Camat, Lurah, dan ASN laki-laki yang memiliki anak usia sekolah agar mendukung dan berpartisipasi aktif dalam gerakan ini.
Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa gerakan ini bertujuan untuk mendorong peran ayah dalam pengasuhan anak serta mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Kegiatan ini diharapkan tidak hanya berdampak secara emosional dan psikologis bagi anak, tetapi juga menjadi simbol keterlibatan aktif ayah dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah Kabupaten Maros juga meminta agar seluruh pelaksanaan kegiatan didokumentasikan dan disebarluaskan melalui media sosial dan kanal komunikasi resmi pemerintah.
Namun, gerakan yang penuh semangat tersebut mendapat kritik dari Muhammad Saleh, Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Maros. Menurut Saleh, walaupun inisiatif ini berniat baik, pelaksanaannya berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat kurang mampu.
“Gerakan ini sebetulnya lahir dari semangat baik, yakni membangun peran ayah dalam pengasuhan. Tapi semangat baik saja tidak cukup. Ketika gerakan ini dilaksanakan tanpa kepekaan sosial, ia justru bisa menjadi bentuk simbolisme baru yang menekan kelompok rentan,” ujar Saleh kepada media, Sabtu (13/7).
Saleh menegaskan bahwa di Maros banyak ayah yang bekerja sebagai buruh, petani, nelayan sehingga tidak memungkinkan mengantar anaknya atau bahkan mereka yang yatim hidup dengan fatherless. “Anak-anak dari keluarga yatim, miskin, atau keluarga tidak utuh bisa merasa tersingkir dan bahkan menjadi korban bullying karena dianggap berbeda,” ungkapnya.
Mengaitkan kasus tragis di Banyuwangi pada Maret 2023, di mana seorang anak SD bunuh diri karena dirundung teman-temannya dengan faktor dia adalah anak yatim, Saleh menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kampanye seperti ini agar tidak menimbulkan luka sosial baru nantinya.
Penelitian oleh Foliadi dan Jesica (2023) dalam Satya Dharma: Jurnal Ilmu Hukum mengungkap bahwa kesenjangan sosial menjadi akar utama terjadinya bullying, termasuk bullying ekonomi dan simbolik yang menimpa anak-anak yang dianggap “berbeda” karena kondisi keluarga atau status sosialnya. Mereka menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi dan struktur masyarakat yang hierarkis turut memfasilitasi praktik intimidasi yang merugikan psikologis anak secara serius.
Temuan ini sangat relevan dengan kekhawatiran yang disampaikan Muhammad Saleh, Ketua Cabang PMII Maros, yang menilai bahwa gerakan “Ayah Mengantar Anak” tanpa kepekaan sosial berpotensi memperkuat stigma sosial dan diskriminasi terhadap anak-anak dari latar belakang kurang mampu.
“Keterlibatan ayah memang penting, tetapi bentuknya tidak harus seremonial. Keterlibatan itu bisa hadir dalam bentuk mendampingi belajar, menjadi pendengar, atau menjadi teladan di rumah. PMII mendorong agar GATI direposisi dari simbolisme menuju pendekatan yang struktural, adil, dan berbasis realitas masyarakat bawah,” pungkasnya. (kpr)