Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila yang merupakan bentuk penghormatan terhadap lahirnya ideologi negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Lebih dari sekadar peringatan historis, Hari Lahir Pancasila adalah momentum reflektif untuk menguatkan kembali komitmen dalam nilai-nilai Pancasila.
Pancasila adalah dasar negara yang memuat prinsip-prinsip fundamental bagi kehidupan berbangsa. Di dalamnya memuat keadilan, kebebasan, kemanusiaan, dan persatuan. Setiap sila dalam Pancasila mengandung ajaran yang membimbing cara kita berinteraksi satu sama lain, membangun rasa keadilan, menghormati perbedaan, serta menjaga persatuan di tengah keberagaman budaya dan agama. Hal ini pula menjadi dalih kekuatan bagi keadilan hak perempuan di Indonesia.
Perempuan Indonesia dalam sejarah penjajahan Belanda hanyalah dianggap budak dan objek seksual. Kemudian dimasa Jepang, perempuan dijadikan pemuas nafsu bagi tentara Jepang saat itu, merak diberi nama jugun ianfu. Setelah masa penjajahan Belanda para jugun ianfu banyak yang terserang penyakit dan tidak diterima di masyarakat.
Dewasa ini, perempuan sudah mulai berada dalam posisi yang lebih baik, meski tetap nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya diterapkan untuk mendukung keadilan gender. Lalu, bagaimana Pancasila sebagai pondasi pemberdayaan terhadap perempuan?
Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, kemudian sila ketiga “Persatuan Indonesia” dan sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, ketiga sila tersebut menegaskan bahwa perempuan berhak atas hak keamanan, pendidikan, ekonomi, ruang publik, dan politik.
Namun, realita yang justru terjadi dilapangan, perempuan masih belum benar-benar berada dalam ruang kebebasan hak maupun ruang aman. Menurut data yang dihimpun oleh Kumparan Women pada November 2024, komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan (KOMNAS) Perempuan masih menemukan bayak catatan merah dalam kasus yang terjadi pada perempuan, yakni layanan kesehatan dan aduan khusus perempuan masih sangat minim utamanya di pulau-pulau terpencil, terdapat sekitar 98% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik, dan terdapat sekitar 50% pasien perempuan rumah sakit jiwa adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sebab, pendidikan juga fondasi utama pemberdayaan. Akses pendidikan yang setara bagi perempuan harus diprioritaskan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah dan masyarakat harus memastikan tidak ada diskriminasi gender dalam proses belajar, termasuk penyediaan beasiswa, fasilitas ramah perempuan, dan kurikulum yang mendorong kesetaraan.
Perempuan juga perlu difasilitasi untuk mandiri secara ekonomi, baik melalui pelatihan keterampilan, akses modal usaha, maupun kesempatan kerja yang adil. Pemberdayaan ekonomi tidak hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga memberi posisi tawar yang lebih kuat bagi perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Pemberdayaan inklusif harus berangkat dari dalam diri perempuan. Penting untuk menumbuhkan kesadaran akan hak-hak, potensi, serta keberdayaan diri melalui pendampingan psikologis, edukasi gender, dan komunitas suportif. Kesadaran ini akan menjadi modal penting dalam menghadapi tekanan sosial, kekerasan, dan diskriminasi.
Perempuan perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan baik di lingkungan keluarga, komunitas, maupun ranah publik. Ibu rumah tangga, buruh perempuan, dan aktivis perempuan. Tak lupa bahwa ruang-ruang suara yang diberikan kepada para perempuan harus mendapat dukungan pemerintah melalui kebijakan, program, dan anggaran yang nyata untuk memperkuat kapasitas perempuan dan memastikan keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan menjadi representasi perempuan dalam lembaga legislatif, organisasi sosial, dan forum masyarakat harus ditingkatkan agar kebijakan yang dihasilkan lebih responsif terhadap kebutuhan dan pengalaman hidup perempuan.
Hari Pancasila mengajarkan kita tentang pentinganya persatuan, maka diperlukan kerja kolektif antara pemerintah dan seluruh kalangan yang bersifat dialogis dan partisipatif. Agar perempuan benar-benar mampu berdaya harus dimulai dari diri sendiri. Kesadaran ini mencakup pemahaman akan hak-hak, potensi, dan peran strategis yang dimiliki dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Ketika perempuan menyadari kekuatan dan nilai dirinya, mereka akan lebih percaya diri untuk mengambil inisiatif, membuat keputusan, serta memperjuangkan kesempatan yang setara.
Hari pancasila seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua, bahwa penerapan nilai-nilai pada pancasila belum sepenuhnya terealisasikan. Beragam permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini hanyalah sebagian kecil dari realitas yang lebih kompleks. Sebagai masyarakat yang sadar dan peduli, kita harus mampu menjadi ruang aman dan suportif bagi para korban ketidakadilan, bukan hanya sekadar tempat fisik, melainkan lingkungan sosial yang memberikan perlindungan, empati, dan dukungan tanpa stigma atau prasangka.
Dengan menghadirkan suasana yang inklusif dan menghargai, korban dapat merasa didengar, dihargai, dan mendapatkan kekuatan untuk bangkit kembali. Lebih jauh lagi, masyarakat harus aktif berperan dalam mengadvokasi perubahan sistemik, mulai dari menolak segala bentuk diskriminasi hingga mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan.
Perempuan bukanlah objek belas kasih semata yang hanya layak mendapatkan simpati atau perlindungan pasif, yang mereka butuhkan sejatinya adalah ruang yang aman dan setara-tempat di mana mereka bisa bertumbuh, berkarya, dan berkembang tanpa hambatan diskriminasi dan kekerasan. Pada akhirnya, pemberdayaan perempuan hanya dapat tercapai jika seluruh elemen masyarakat termasuk pemerintah agar bersinergi dan bekerja secara kolektif demi mewujudkan keadilan sebagai bentuk nyata dari implementasi nilai-nilai pancasila.
Momentum ini menjadi panggilan untuk memperkokoh semangat persatuan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap kemanusiaan, yang menjadi landasan utama dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Dengan menghidupkan kembali komitmen terhadap Pancasila, kita menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut harus menjadi pedoman nyata dalam setiap kebijakan, tindakan, dan sikap, agar Indonesia dapat terus maju sebagai bangsa yang adil, makmur, dan bermartabat.