Sumber foto: Dokumentasi pribadi Nur Jamilah Ambo
Helen Keller pernah berkata, “Sendiri kita bisa melakukan begitu sedikit. Bersama-sama kita bisa melakukan banyak hal.” Kutipan ini sederhana, tetapi memiliki makna mendalam bagi dinamika organisasi, khususnya dalam tubuh Kopri saat ini.
Selama beberapa tahun terakhir, jargon “Kopri Mandiri” digaungkan sebagai identitas gerakan perempuan PMII. Namun, dalam perjalanannya, justru jargon ini sering menimbulkan konflik karena disalahartikan, bahkan menimbulkan jarak antara Kopri dan PMII.
Di lapangan, saya masih sering mendengar sindiran “Katanya Kopri mandiri” saat salah seorang anggota Kopri meminta bantuan dari anggota PMII lainnya. Ungkapan sesingkat itu telah membuat siapapun kopri yang mendengarnya menjadi kecewa.
Ini adalah kekeliruan besar terhadap pola pikir mereka, bahwa “Kopri Mandiri” seolah-olah Kopri tidak boleh meminta dukungan dari PMII. Padahal, kemandirian yang dimaksud bukanlah bekerja sendirian, tetapi mandiri secara kelembagaan, yakni memiliki inisiatif, keberanian merancang program, serta kemampuan menentukan arah gerak organisasi tanpa menunggu aba-aba atau perintah dari PMII.
Pada titik ini, kita perlu memahami bahwa mandiri bukan berarti menutup pintu bantuan. Kopri bukan robot yang bisa bekerja tanpa energi sosial. Anggota Kopri juga adalah manusia, dan manusia adalah makhluk sosial.
Jika menapak dari teori sosiologi, manusia selalu bergantung pada sistem interaksi, dan tidak ada individu atau organisasi yang benar-benar mandiri secara mutlak. Istilah interdependensi menjelaskan kenyataan itu, kita saling bergantung, dan justru saling ketergantungan itulah yang menjadi kekuatan.
Maka jika kemandirian salah dimaknai sebagai “berjalan sendiri”, organisasi justru berpotensi tersendat.
Di beberapa rayon, komisariat, dan cabang, ada gejala yang muncul, kegiatan Kopri berjalan lebih sepi dibanding kegiatan PMII. Ini bukan karena kurang semangat, melainkan karena mereka berpikir kegiatan Kopri bukan kegiatan PMII, akibat pemahaman yang keliru terhadap jargon “mandiri”.
Ketika suatu organisasi menganggap dirinya harus mandiri secara total, tanpa disadari ia bisa kehilangan dukungan yang sebenarnya penting untuk bertumbuh.
Di sinilah pentingnya menggeser narasi. Kemandirian tetap penting, karena ia melahirkan inisiatif dan kepemimpinan. Namun setelah kemandirian itu terbangun, diperlukan jaringan kerja, solidaritas, dan penyatuan tenaga. Dengan kata lain: kemandirian adalah fase, sedangkan kolaborasi adalah habitat.
Bayangkan sebuah program besar, kampanye kesehatan reproduksi perempuan, advokasi kekerasan, edukasi gender berbasis sekolah, atau penelitian sosial. Semua itu mustahil dikerjakan sendirian. Dibutuhkan lintas bidang, kader advokasi, kader dokumentasi, kader analisis data, dan tentu saja kader PMII laki-laki yang bergerak di ranah sosial-politik.
Dengan bekerja bersama, gerak menjadi lebih cepat, ide menjadi lebih kaya, dan suara perempuan menjadi lebih kuat.
Dalam sebuah organisasi, kolaborasi bukan tanda kelemahan, tetapi justru bukti kematangan. Sebuah pepatah organisasi mengatakan bahwa “Siapa yang tinggi kesadarannya, dialah yang paling dulu mengulurkan tangan.” Artinya, kader yang matang adalah ia yang mampu mengajak, menggerakkan, dan membangun jaringan kerja.
Karena itu, hari ini kita memasuki era baru. Bukan lagi era “Kopri Mandiri” secara total, tetapi era Kopri yang Mandiri dalam gagasan, dan berkolaborasi dalam gerakan. Ini adalah paradigma yang lebih sehat: inisiatif tetap lahir dari tubuh Kopri, tetapi eksekusinya dilakukan melalui kerja bersama.
Karena pada akhirnya, organisasi tidak dibangun oleh satu tangan, tetapi banyak tangan. Pergerakan tidak lahir dari satu kepala, tetapi banyak kepala. Maka gerakan perempuan pun memerlukan sahabat dalam perjuangan, sebab kesetaraan hanya bisa dicapai ketika semua pihak ikut memperjuangkannya—perempuan dan laki-laki, kita bersama-sama.