Skip to Content

Krisis Edukasi dan Norma: Elaborasi Hukum TPKS Untuk Predator Seksual

Penulis: Nur Jamilah
June 24, 2025 by
Krisis Edukasi dan Norma: Elaborasi Hukum TPKS Untuk Predator Seksual
Korps PMII Putri Sulawesi Selatan
| No comments yet

Insiden krisis norma pada predator seksual sudah menjadi karakter. Pelaku pidana ini sering tidak sadar akan kelakuan brutalnya yang mengorbankan kesucian orang lain, baik kesucian secara fisik maupun secara psikis.

Distorsi kognitif pelaku akan beraksi saat keadaan sedang rentan. Ketika ada peluang besar untuk mendapatkan incaran, mereka akan memburu sampai dapat hingga akan jatuh satu korban pelecehan seksual.

Kasus pelecehan seksual mengalir setiap hari. Meski Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan pada tahun 2022 lalu, justru meningkat signifikan pada tahun 2024.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tercatat sebanyak 23.244 kasus pelecehan terjadi pada tahun 2024 yang melonjak drastis dari 4.179 kasus pada tahun 2022.

Regulasi TPKS tidak tersosialisasi secara komprehensif. Termaktub dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bahwa kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan berbasis elektronik (pasal 4 ayat 1).

Selain itu, kekerasan seksual juga meliputi perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, pelanggaran kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang memuat kekerasan, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang ditujukan untuk eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual dalam rumah tangga (pasal 4 ayat 2).

Seorang mucikari yang melakukan pemaksaan pelacuran, atau orang tua yang memaksakan perkawinan terhadap anaknya, hingga suami yang memaksakan hubungan seksual pada istrinya dapat dijerat pidana.

Mereka tidak memahami realita bentuk dan jenis kekerasan seksual. “Aku hanya menepuk pundaknya” ucap pelaku saat kasus dilaporkan. Meski hanya menepuk pundak, itu tetap pelecehan. Bahkan tatapan yang menimbulkan kerisihan saja sudah termasuk pelecehan (nonfisik).

Pelecehan nonfisik merupakan tindak pidana paling ringan di dalam UU TPKS, sanksi yang dijatuhi bagi pelakunya adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan dan atau pidana denda sebesar Rp10 juta.

Jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Komnas Perempuan mencatat sebanyak 2.776 laporan KSBE terhadap perempuan pada periode Mei 2022 hingga Desember 2023.

KSBE sukar dihindari oleh kaum predator seksual. Penyebaran konten intim tanpa persetujuan, sekstorsi, komentar cabul di media sosial, dan penguntitan digital, semuanya adalah bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik yang kadang kala tidak disadari menjadi favorit oleh kaum predator.

Ajakan VCS dan pemaksaan membuka pakaian lewat daring juga termasuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik yang sering terjadi, namun pelaku berhasil berlindung dibalik dalih suka sama suka. Hingga mengancam korban dengan tindak asusila yang brutal.

Padahal UU TPKS dengan tegas memberi sanksi untuk KSBE paling lama adalah pidana penjara 4 tahun dan atau denda Rp200 juta. Namun, para predator seksual sering berhasil kabur dari ancaman regulasi, karena mereka tak pernah diberi edukasi.

Selain minim edukasi-sosialisasi, TPKS juga minim implementasi. Distorsi budaya aparat penegak hukum dalam penanganan kasus pelecehan sering melindungi pelaku dan justru menyalahkan korban, bahkan pelaku dimaafkan kemudian korban mendapat teguran. Hal ini berbanding terbalik dari regulasi yang seharusnya.

Kaum predator seksual sudah semestinya tercatat dalam daftar hitam publik, namun realitanya mereka masih eksis di mana-mana. Menampilkan wajah dengan penuh percaya diri, dan lupa bahwa ada korban yang menutup diri.

Dalam ruang publik, sesama teman, antara senior dan junior, antara atasan dan bawahan, rekan kerja, mitra kerja, orang baru kenal, atau bahkan sesama jenis juga sangat rentan terjadi pelecehan. Karakter cabul sang predator bereaksi tanpa sadar. Korban seringkali terdiam diperlakukan layaknya mangsa, karena jika korban melapor, ia akan dinilai berlebihan oleh pelaku.

Esensi UU TPKS hanya sekadar menjadi regulasi, sudah gagal terimplementasi, juga minim sosialisasi, bahkan hanya seperti formalisasi. belum terealisasi dan terelaborasi ke masyarakat luas khususnya bagi predator seksual.

Edukasi diseminasi TPKS beserta sanksi hukum di dalamnya harus disosialisasikan secara universal di ruang publik seperti di sekolah, kampus, kantor, dan rumah ibadah. Bahkan aksi sosialisasi dapat dipajang di trotoar, alun-alun, taman, hingga pusat perbelanjaan.

Karena pelecehan seksual bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi luka sosial yang dalam. Ketidakadilan itu menjadi realita jika luka hanya dirasakan oleh korban sementara pelaku bebas dari beban.

Masyarakat, aparat penegak hukum, dan pembuat kebijakan harus bergerak bersama membela dan melindungi korban serta tegas menghukum kaum predator seksual.

Regulasi dibuat untuk ditaati, UU TPKS disahkan untuk melindungi, bukan sebaliknya. Jika ketegasan hilang dan regulasi melemah, maka pelaku pelecehan, oknum penyalahguna kekuasaan, dan predator seksual takkan pernah takut. Mereka akan lebih licik mencari korban.

Krisis Edukasi dan Norma: Elaborasi Hukum TPKS Untuk Predator Seksual
Korps PMII Putri Sulawesi Selatan June 24, 2025

Share this post

Our blogs

Archive

Sign in to leave a comment