Sumber foto: Doku​mentasi Pribadi Sukmawati
Perjuangan untuk kesetaraan gender seringkali diartikulasikan di ruang publik yang besar, parlemen, forum internasional, atau panggung media.
Kita kerap kali berapi-api membahas representasi perempuan di kursi kekuasaan, hukum yang adil, dan penghapusan diskriminasi. Namun sebuah refleksi kritis harus di sandingkan, bagaimana mungkin kita menuntut tatanan global yang berkeadilan jika fondasi diri dan lingkungan terdekat kita masih rapuh oleh bias internal?
Sebagai seorang perempuan pergerakan, baik sebagai aktivis maupun pemimpin, harus dilihat sebagai cerminan dua dimensi perjuangannya melawan ketidakadilan eksternal dan menguatkan kualitas diri internal.
Salah satunya juga adalah stigma yang kerap dilekatkan pada perempuan pergerakan adalah anggapan bahwa tindakan mereka didorong oleh emosi semata atau sensitivitas berlebihan. Stereotip ini harus dipatahkan melalui demonstrasi rasionalitas kritis yang kokoh.
Seorang pemimpin atau aktivis perempuan harus mampu menerima umpan balik konstruktif dan menghindari sikap anti-kritik yang defensif. Sikap terlalu mendahulukan sentimen personal dalam menghadapi perbedaan pendapat hanya akan menggerus legitimasi moral dan mengurangi efikasi sosial gerakan.
Kepemimpinan yang sejati harus diselaraskan dengan kemampuan memproses kritik, berdialog secara objektif, dan membuat keputusan berdasarkan penalaran logis yang matang, bukan berdasarkan penalaran yang amburadul dan bobrok yang nihil hasilnya.
Maka, sebelum kita berapi-api membahas ketidakadilan yang membentang luas di cakrawala dunia, mari kita lirik dan bereskan dahulu ketidakberesan yang berakar dari diri dan lingkungan internal kita.
Seperti yang dikatakan R.A. Kartini "Ikhtiar, berjuanglah membebaskan diri." Jika engkau sudah bebas karena ikhtiarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain. Karena kemerdekaan diri adalah fondasi sebelum kita menuntut kemerdekaan kolektif.